Variasi Bahasa/ Jenis Bahasa
Variasi Bahasa terjadi sebagai akibat dari perbedaan tingkat social dan keragaman fungsi bahasa bila masyarakat homogeny, tidak terjadi peragaman bahasa. Variasi bahasa bisa dari segi penutur, dari segi pemakai, dari segi keformalan, dari segi sarana.
Variasi-variasi bahasa dari segi penutur itu ada berbagai macam, ada idielok, dialek, kronolek, sosiolek. Variasi bahasa pertama adalah variasi bahasa yang disebut idielok, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Variasi bahasa kedua adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relative, yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek ini berdasarkan daerah tertentu maka dialek ini lazim disebut dengan dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Variasi ketiga yaitu kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Variasi kempt yaitu sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya.
Variasi bahasa dari segi pemakainya disebut fungsiolek, ragam atau register.
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The five clock membagi variasi bahasa menjadi lima yaitu; gaya /ragam beku (frozen), gaya/ ragam resmi (formal), gaya/ ragam usaha (konsultatif), gaya/ ragam santai (casual) dan gaya/ ragam akrab (intimate).
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling normal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi, isalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akte notaries dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berkreasi dan sebagainya.
Ragam akrab atu ragam intim adalajh variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antara anggota keluarga atau pertemanan yang sudah akrab. Ragam ini ditndai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas.
Variasi bahasa dapat juga dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan dalam hal ini dapat disebut degan adanya ragam lisan dan ragam tulisan, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu yakni misalnya dalam bertelepon atau bertelegraf. Ragam bahasa dalam bertelepon dan bertelegraf menuntut persyaratan tertentu, sehingga menyebabkan dikenal adanya ragam bahasa telepon dan ragam bahasa telegraf yang berbeda dengan ragam-ragam bahasa lainnya.
Jenis Bahasa
Dalam Jenis bahasa kita tidak hanya membahas tentang suatu bahasa serta variasinya, tetapi juga dengan sejumlh bahasa, baik yang dimiliki repertoire satu masyarakat tutur maupun yang dimiliki dan digunakan oleh sejumlah masyarakat tutur. Jenis bahasa terbagi atas 4 yaitu jenis bahasa berdasarkan sosiologis, berdasarkan sikap politik, berdasarkan tahap pemerolehan dan Lingua Franca.
Jenis bahasa berdasarkan sosiologis artinya penjenisan ini tidak terbatas pada struktur internal bahasa tetapi juga berdasarkan factor sejarahnya, kaitanya dengan system linguistik lain dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Steward (dalam Fishman (ed.) 1968), menggunakan empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis yaitu: Standarisasi, Otonomi, Historisitas, dan Vitalitas. Keempat factor itu oleh Fishman (1972: 18) disebut sebagai jenis sikap dan perilaku terhadap bangsa.
Standarisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar”.
Dasar kedua yaitu Otonomi atau keotonomian. Sebuah sistem Linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman 1968: 535).
Dasar ketiga yaitu Historisitas atau kesejarahan. Sebuah sistem Linguistik disebut mempunyai Historisitas kalau diketahui atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa lalu (Fishman 1968: 535). Factor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu.
Dasar keempat yaitu faaktor vitalitas atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968: 536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah pemakaian sistem Linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi.
Jenis Bahasa berdasarkan Sikap Politik kita dapat membedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa Negara dan bahasa persatuan. Bahasa nasional atau bahasa kebangsaan adalah kalu sistem linguistik diagkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu identitas kenasionalan bangsa itu. Yang dimaksud dengan bahasa Negara adalah sebuah sistem linguistik yang secara resmi dalam undang-undang dasar sebuah Negara ditetapkan sebagai alat komunikasi resmi kenegaraan. Artinya segala urusan kenegaraan, administrasi negra, kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan menggunaka bahasa itu. Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan seperti seminar, konferensi, rapat dan sebagainya.
Jenis bahasa berdasarkan pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa pertama dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa Asing. Bahasa ibu dan bahasa pertama mengacu pada satu sistem linguistik yang sama.
Yang disebut dengan bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali diajarkan secara alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak. Bahasa ibu lazim juga disebut dengan bahasa Pertama (disingkat B1) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya disebut bahasa kedua (disingkat B2). Yang disebut bahasa asing akan selalu menjadi bahasa kedua bagi seoraang anak.
Jenis bahasa yang keempat yaitu Lingua Franca. Yang dimaksud Lingua Franca ialah sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.
Bilingualisme
Bilingualism dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kedwibahasaaan. Secara harfiah bisa diartikan sebagai berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum bilingualism diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962;12, Fishman 1975;73).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilungual (dalam bahasa Indonesia disebut dengan dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut Bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kedwibahasawan). Selain bilingualisme ada juga yang disebut dengan multilualisme, dalam bahasa indonesia disebut dengan keanekaragaman bahasa, yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Bilingualisme sendiri mempunyai beberapa masalah yang biasanya dibahasa jika orang membicarakan masalah bilingualisme. Masalah-masalah itu ialah:
1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang aka B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang bilingual?
2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam pengertian Langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1-nya dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2nya dapat mempengaruhi B1-nya.
5. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Diglosia
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di man terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Bila disimak, definisi perguson itu memberi pengertian:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebebasan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari suatu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu, diantaranya, bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
3. Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
– Sudah (sangat) terkodifikasi.
– Gramatikalnya lebih kompleks
– Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
– Dipelajari melalui pendidikan formal
– Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
– Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.
Diglosia ini dijelaskan ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon dan fonologi.
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dengan dialek T/ ragam T), yang kedua ialah dialek rendah (disingkat dengan dialek R/ ragam R). Fungsi T hanya pada situasi resmi atau Formal, sedangkan fungsi R hanya pada situasi informal dan santai.
Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior; malah ada yang menolak keberadaannya.
Warisan kesusatraan. Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum.
Pemerolehan. Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
Standardisasi. Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal. Kamus, tata bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku keidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R tidak pernah diurus dan diperhatikan.
Stabilitas. Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
Gramatika. Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama; namun di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Umpamanya, dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tenses indikatif sederhana; sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tiga kasus nomina, dan satu tenses sederhana.
Leksikon. Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakatanya pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya ada kosakata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
Fonologi. Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. perbedaan itu bisa dekat bisa juga jauh. Ferguson menyatakan sistem bunyi ragam T dan ragam R sebenarnya merupakan sistem tunggal; namun, fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R, yang beragam-ragam, merupakan subsistem atau parasistem.
Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya pembedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun atau pada dua bahasa yang berlainan.
Alih Kode
Appel (1976: 79) mendefenisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel yang menyatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875: 103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi juga dapat terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum ada Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode yaitu:
1. Pembicara atau Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap lawan tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Seorang penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakan itu.
2. Lawan Tutur
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur. Lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Perubahan dari Formal ke Informal
Perubahan situasi bicara merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Berubahnya Topik Pembicaraan
Berubahnya topik pembicaraan merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode.
6. Untuk membangkitkan rasa humor
Hal ini biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
7. Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
Disamping hal-hal di atas sesungguhnya masih banyak faktor atau variable lain yang dapat menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode. Penyebab ini biasanya sangat berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam suatu masyarakat tutur serta bagaimana status sosial yang dikenakan oleh para penutur terhadap bahasa-bahasa atau ragam-ragam bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu.
Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.
Campur Kode
Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan .
Kesamaan yang ada antara alih kode dengan campur kode ialah digunakannya dua bahasa atau lebih dalam satu masyarakat tutur. Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: Campur kode ke dalam, yaitu Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya, dan Campur kode ke luar yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar